IN GENERAL
Cerita ini adalah cerita tentang realita yang dikemas
dalam adat dan pertumbuhan jaman di Bali dalam
264 halaman. Fokus cerita ini adalah tentang adat kembar buncing (anak kembar
laki-laki dan perempuan). Awalnya aku nggak tau apa arti ‘buncing’, tapi
setelah membaca jadi tau deh.. hohoo
Konon, kalo ada anak kembar buncing, orang tua si anak
tersebut harus mematuhi serangkaian upacara adat atau peraturan gitu, trus
bayinya harus dipisahkan sehingga mereka tidak saling kenal, karena pada
akhirnya nanti mereka akan dinikahkan.
MY EXPERIENCE
Agak bingung juga waktu membaca buku ini, karena
bahasa penulisannya yang susah, dengan kata-kata yang sophisticated, bagi aku
yang bahasa Indonesianya standar, haha. Dan juga, aku kadang tidak mengerti
tentang istilah-istilh adat, ataupun bagaimana rasanya hidup diatur oleh
serangkaian adat, karena bagaimanapun, aku tinggal di Jawa yang menurut aku
less strict kalo dibandingkan dengan adat di cerita ini, aku juga tidak tahu
menahu tentang adat Bali walaupun sudah pernah ke sana.
Aku, atau saya lebih tepatnya, hanya ingin berkomentar
bahwa buku-buku seperti ini adalah buku-buku yang bagi saya menarik. Kenapa?
Karena ini berbicara tentang adat! Apalagi di Indonesia! Beeuuuhhhhh, aku
pengen banget koleksi buku-buku kaya gini dari Sabang sampe Merauke! Serius. Seperti
yang aku bilang, aku tertarik banget ama yang namanya culture atau kebudayaan.
Aku ingin mengenal lebih dekat culture-culture yang ada di bumi ini. Khususnya
di Indonesia, karena sayangnya, jarang diekspos, jadi anak-anak muda semacam
aku ini tidak tahu menahu tentang budaya sendiri.. TT pooor mee…
MY COMMENTS AND SUGGESTION
Jika saya boleh berkomentar, ide dari cerita dalam
buku ini sebenarnya bagus, tetapi alur penyampaian cerita atau gaya penulisannya agak
sulit dimengerti, bertele-tele, dan mmmmm apa yaaa,, kurang tepat. Ada sesuatu yang kurang:
tidak ada hal yang ‘mengikat’ pembaca untuk terus membaca sampai akhir, kecuali
tentang akhir dari sepasang buncing. Dan juga ada bagian-bagian yang membosankan
sehingga saya men-skip seperti tulis menulis email.
Pengarang hanya menyampaikan apa yang terjadi, tidak
menggali lebih dalam dari sisi emosional. Akan lebih baik dan menjadi lebih
berkesan apabila pengarang menggali lebih dalam sisi emosional pembaca atau
memperkuat karakter yang ada, sehingga pembaca juga mengetahui bagaimana
rasanya hidup dalam masyarakat adat, yang terkadang dianggap kejam. Kalau saja
diceritakan dari satu sudut pandang pemain, katakanlah ibu dari si kembar, kita
gali bagaimana rasanya menjadi ibu dari sepasang buncing, bagaimana rasanya
mematuhi peraturan adat, bagaimana rasanya dihujat oleh orang sekampung,
bagaimana rasanga melihat anaknya menikah dengan saudara sendiri. Hal-hal
emosional seperti itu menurut saya akan lebih ‘menggigit’. Oh ya, berbicara
tentang ibu, kenapa di bagian akhir dari cerita tersebut tidak dibahas lagi
tentang orangtua si kembar, naaahh, big hole nya disitu juga. Ada dimana orangtua mereka? Apa yang terjadi
dengan mereka? Dimana mereka ketika keduanya menikah? Bagaimana perasaan
mereka? Mengapa mereka diam saja ketika anaknya diadili oleh orang sedesa?
Apakah mereka sudaah meninggal? Kok gak di mention? Dimana mereka ketika si
kembar mulai menjalin cinta? bagaimana reaksi mereka? Tidakkah mereka menangis?
Banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab… membuat pembaca kurang puas..
Sehubungan dengan kata-kata yang membingungkan dan
sulit dimengerti, atau terlalu tinggi, mungkin ada hubungannya dengan latar
belakang pendidikan penulis, yang sudah tinggi. Hal ini membuat alur cerita
sulit dimengerti, dan dalam percakapan dan pengandai-andaian pun rasanya
‘aneh’. Sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh berbagai kalangan
dan lapisan masyarakat, sehingga memuaskan pembaca..
·
“aku kira banyak hal yang sebenarnya tidak kita
pahami. Banyak tempat yang belum kita kunjungi. Banyak jarak yang masih belum
kita capai. Tetapi karena kita egois, kita kira betapa supernya kita. Merasa
tahu apa saja dan kita selalu berjuang untuk menunjukkan kebohongan sehingga kita
tampak mengerti bukan?”
·
“betapa di dalam masyarakat disiplin ilmu yang kaku
tidak diperlukan. Disini, setiap sarjana mulai belajar lagi, untuk mengerti dan
bekerjasama dengan realitas. Bukan sebaliknya, secara eksklusif justru menolak
realitas atau menjauhinya, berjarak, dan bahkan mengecamnya.”
·
“betapa cinta, sekalipun cinta terlarang, sangat layak
diperjuangkan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar