The Wind Sharing

The Wind Sharing
Good time

Kamis, 22 November 2012

Incest, by I Wayan Artika REVIEW






IN GENERAL
Cerita ini adalah cerita tentang realita yang dikemas dalam adat dan pertumbuhan jaman di Bali dalam 264 halaman. Fokus cerita ini adalah tentang adat kembar buncing (anak kembar laki-laki dan perempuan). Awalnya aku nggak tau apa arti ‘buncing’, tapi setelah membaca jadi tau deh.. hohoo

Konon, kalo ada anak kembar buncing, orang tua si anak tersebut harus mematuhi serangkaian upacara adat atau peraturan gitu, trus bayinya harus dipisahkan sehingga mereka tidak saling kenal, karena pada akhirnya nanti mereka akan dinikahkan.

MY EXPERIENCE
Agak bingung juga waktu membaca buku ini, karena bahasa penulisannya yang susah, dengan kata-kata yang sophisticated, bagi aku yang bahasa Indonesianya standar, haha. Dan juga, aku kadang tidak mengerti tentang istilah-istilh adat, ataupun bagaimana rasanya hidup diatur oleh serangkaian adat, karena bagaimanapun, aku tinggal di Jawa yang menurut aku less strict kalo dibandingkan dengan adat di cerita ini, aku juga tidak tahu menahu tentang adat Bali walaupun sudah pernah ke sana.

Aku, atau saya lebih tepatnya, hanya ingin berkomentar bahwa buku-buku seperti ini adalah buku-buku yang bagi saya menarik. Kenapa? Karena ini berbicara tentang adat! Apalagi di Indonesia! Beeuuuhhhhh, aku pengen banget koleksi buku-buku kaya gini dari Sabang sampe Merauke! Serius. Seperti yang aku bilang, aku tertarik banget ama yang namanya culture atau kebudayaan. Aku ingin mengenal lebih dekat culture-culture yang ada di bumi ini. Khususnya di Indonesia, karena sayangnya, jarang diekspos, jadi anak-anak muda semacam aku ini tidak tahu menahu tentang budaya sendiri.. TT pooor mee…

MY COMMENTS AND SUGGESTION
Jika saya boleh berkomentar, ide dari cerita dalam buku ini sebenarnya bagus, tetapi alur penyampaian cerita atau gaya penulisannya agak sulit dimengerti, bertele-tele, dan mmmmm apa yaaa,, kurang tepat. Ada sesuatu yang kurang: tidak ada hal yang ‘mengikat’ pembaca untuk terus membaca sampai akhir, kecuali tentang akhir dari sepasang buncing. Dan juga ada bagian-bagian yang membosankan sehingga saya men-skip seperti tulis menulis email.

Pengarang hanya menyampaikan apa yang terjadi, tidak menggali lebih dalam dari sisi emosional. Akan lebih baik dan menjadi lebih berkesan apabila pengarang menggali lebih dalam sisi emosional pembaca atau memperkuat karakter yang ada, sehingga pembaca juga mengetahui bagaimana rasanya hidup dalam masyarakat adat, yang terkadang dianggap kejam. Kalau saja diceritakan dari satu sudut pandang pemain, katakanlah ibu dari si kembar, kita gali bagaimana rasanya menjadi ibu dari sepasang buncing, bagaimana rasanya mematuhi peraturan adat, bagaimana rasanya dihujat oleh orang sekampung, bagaimana rasanga melihat anaknya menikah dengan saudara sendiri. Hal-hal emosional seperti itu menurut saya akan lebih ‘menggigit’. Oh ya, berbicara tentang ibu, kenapa di bagian akhir dari cerita tersebut tidak dibahas lagi tentang orangtua si kembar, naaahh, big hole nya disitu juga. Ada dimana orangtua mereka? Apa yang terjadi dengan mereka? Dimana mereka ketika keduanya menikah? Bagaimana perasaan mereka? Mengapa mereka diam saja ketika anaknya diadili oleh orang sedesa? Apakah mereka sudaah meninggal? Kok gak di mention? Dimana mereka ketika si kembar mulai menjalin cinta? bagaimana reaksi mereka? Tidakkah mereka menangis? Banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab… membuat pembaca kurang puas..

Sehubungan dengan kata-kata yang membingungkan dan sulit dimengerti, atau terlalu tinggi, mungkin ada hubungannya dengan latar belakang pendidikan penulis, yang sudah tinggi. Hal ini membuat alur cerita sulit dimengerti, dan dalam percakapan dan pengandai-andaian pun rasanya ‘aneh’. Sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, sehingga memuaskan pembaca..

·         “aku kira banyak hal yang sebenarnya tidak kita pahami. Banyak tempat yang belum kita kunjungi. Banyak jarak yang masih belum kita capai. Tetapi karena kita egois, kita kira betapa supernya kita. Merasa tahu apa saja dan kita selalu berjuang untuk menunjukkan kebohongan sehingga kita tampak mengerti bukan?”
·         “betapa di dalam masyarakat disiplin ilmu yang kaku tidak diperlukan. Disini, setiap sarjana mulai belajar lagi, untuk mengerti dan bekerjasama dengan realitas. Bukan sebaliknya, secara eksklusif justru menolak realitas atau menjauhinya, berjarak, dan bahkan mengecamnya.”
·         “betapa cinta, sekalipun cinta terlarang, sangat layak diperjuangkan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar