The Wind Sharing

The Wind Sharing
Good time

Kamis, 28 Februari 2013

A COTTAGE BY THE SEA, by Windarti




A COTTAGE BY THE SEA

He would be the first one I saw when I opened my eyes,
After the sunshine which came through the slight curtain of unlocked window.
His voice would be the first one I heard as a morning greeting,
After the sound of the wave at the sea.
His skin would be the first one that I felt,
After the greeting of the wind came through the window.
Who would be happier than me?
When I went outside, I would see how wonderful nature is.
When I looked inside, I would see how beautiful a god like.
And when the sun was right above our head,
          He would be the first one I asked to dance,
          With the wave and white sand,
          Together we would gonna be blind and tan.
When the sun was set at the horizon,
          He would be the first one I begged not to go.
We would sit on the rock as the wind blows.
Looking at the stars shining above,
Who else would be happier than me?
In the cottage by the sea.


Windarti 2013


Kamis, 21 Februari 2013

HARRY POTTER & ME


HARRY POTTER & ME



Here are some my confession about being grown up with Harry Potter. Harry Potter is meaningful for me, because I love it very much, not only the books, but also the films, the characters, I was crazy about them.

1.    The first time I met Harry Potter is in my junior high library, and since that time, I’ve loved them truly madly deeply sincerely.
2.    I’ve ever wish to give everything I had, to become a wizard and study in Hogwarts.
3.    I cried when I finished reading the Seventh book of Harry Potter, Harry Potter and the Deathly Hallows, because I was afraid couldn’t meet Harry anymore, couldn’t feel the euphoria of waiting, and couldn’t feel the feeling when I read them.
4.    If only I entered Hogwarts, I wish I could be a Slytherin J


5.    In my life, I insist on or strongly want to collect all the Harry Potter books no matter what.


6.    I always think that I AM a wizard, actually.
7.    Harry Potter and the Order of the Phoenix is the one I love the most (book).
8.    Actually, I love the books more than the movies.
9.    I cried when Dumbledore was dead, because I think, there would be no Hogwarts anymore. Dumbledore is Hogwarts, Hogwarts is Dumbledore. They couldn’t be separated each other.
10. I’m now 20 years old and still waiting for my letter of acceptance from Hogwarts, I believe it will come.
11.  When I was on my junior high, I pretended myself to be Ginny Weasley.
12.  I fell in love with Draco Malfoy and his darkness.


13.  I’ve ever thrown the thicky hard cover Harry Potter and the Order of the Phoenix to my friend’s head because he made a joke of it! And I have never ever regretted it because he truly deserved it! Long live Harry Potter!
14.  When I have children, the first book they read will be Harry Potter.
15.  The first Harry Potter movie I watched is Harry Potter and the Chamber of Secrets. At that time, I didn’t know that I would love it this much.
16.  Today, every time I watch Harry Potter , 1-6, I cried, because I knew that Fred would be dead at the end.
17. If I were a student in Hogwarts, I would spend my time make an adventure to find out the secrets of Hogwarts that I didn’t know before.
18. The Ministry of Magic also attracted my attention at some parts.
19.  My dream is to be an auror, but I love dark magic too, and I don’t really have Voldemort (at some point, I love him), so, what should I do?
20. I don’t really like Sirius Black.
21.  The idea of the Marauders Map is BLOODY BRILLIANT! :D


22. I really hate Umbridge!
23.  I wish I would have time to take a walk around Diagon Alley (and also Knockturn Alley if it is possible), but I’m afraid that after those attack from the dark side, it wouldn’t be that beautiful like in the first movie.
24. I love J. K. Rowling because she gave me a magical childhood.
25. There are still more confession but I think it is enough for this time. See you on the next confession :D

Rabu, 20 Februari 2013

MIRROR, a poem by Windarti


MIRROR

I saw her cry, at the corner .
In the midst of the night, silently .
A poor lonely child, heartbreaking .
Her eyes are red full of tears, stare .
Yet the anger radiates the room, strongly .
The look in her eyes full of revenge, blindly .
She walked towards me, eagerly .
            A poor lonely child, stood before me .
            I wanna hug her but I couldn’t,
            Stood still, time flew .
            I touched her hand, she touched mine .
            I wiped her tears with my hand .
            I said it is okay, just close your eyes .
            When I opened my eyes,
            She was gone, left me alone with a
            Mirror .


Windarti, 2013



Kamis, 14 Februari 2013

APAKAH HIDUP INI ADIL? a reflection from Rembulan Tenggelam di Wajahmu, by Tere-Liye







Title: Rembulan Tenggelam di Wajahmu
Author: tere-liye
Pages: 426

Ini novel pertama dari tere-liye yang aku baca. Sebuah novel yang luar biasa dan membuat kita berpikir bahwa dalam kehidupan ini, semua orang dan semua kejadian saling berkaitan atau berakibat satu sama lain, semuanya dihubungkn oleh link-link yang sudah ditakdirkan oleh keadilan langit. Melalui novel ini, aku menyadari bahwa di dunia ini memang ada keadilan, dan aku mulai melihat kembali hal-hal yang terjadi dalam kehidupanku, menganalisa apa akibatnya untuk diriku, dan menduga-duga apa yang hal ni sebabkan di kehidupan orang lain. Tak pelak, analisa atau pemikiran semacam ini membuat kita menjadi lebih bijak dan ikhlas dalam menjalani setiap kejadian dalam hidup ini.
THE SIMILAR BOOK J
Sebelumnya, aku juga sempat membaca karya William P. Young yang berjudul The Shack. Kisah ini juga hampir mirip dengan yang ada di The Shack. Keduanya sama-sama berkisah tentang bagaimana manusia mempertanyakan keadilan Tuhan, setelah kejadian mengerikan yang menimpa mereka. Bedanya, di The Shack, ceritanya berkisah tentang ayah yang kehilangan putri kesayangannya yang tewas terbunuh. Dia merasa sangat kehilangan sehingga dia berpikir bahwa hidup ini tidak adil. Di Rembulan Tenggelam di Wajahmu, ini mengisahkan kehidupan seseorang yang di flash-back, yang selama hidupnya dia mempertanyakan keadilan Tuhan. Perbedaan lain antara keduanya novel tersebut adalah di The Shack, hanya bercerita tentang satu potong kejadian yang akhirnya ber-impact ke tokohnya, dan ini lebih ke ‘penyembuhan’ dan banyak membahas tentang psikologis dan teologi. Di RTW (Rembulan Tenggelam di Wajahmu), ini bercerita tentang a whole life of the main character, jadi tentang bagaimana kejadian-kejadian dalam hidupnya saling berhubungan satu sama lain. Sungguh menakjubkan! Berbeda dari The Shack yang banyak membahas tentang teologi dan psikologi, RTW membahas setiap kehidupan lebih ‘real’, bagaiman manusia saling berhubungan satu sama lain.
Nah, sisi persamaannya, kedua orang yang mempertanyakan keadilan ini, disadarkan oleh sesuatu yang Ghaib atau perjalanan batin yang jarang dialami orang awam. Di The Shack, tokoh utama bertemu dan bercengkerama dengan Tuhan melalui tiga wujudnya, dan di pertemuan tersebutdia merubah seluruh prasangkany tentang Tuhan dan melalui pengalaman-pengalaman tersebut dia menyembuhkan atau memulihkan luka di hatinya. Di dalam RTW, sang tokoh utama disadarkan melalui flash-back kehidupannya yang ketika rahasia langit dibuka di depan matanya, dia dikejutkan oleh kenyataan bahwa segala hal yang terjadi sepanjang hidupnya, saling berhubungan atau berakibat satu sama lain, yang sebelumnya tidak dia ketahui. Dalam ‘perjalanan kembali’ tersebut, si tokoh utama ditemani oleh sesosok atau seseorang yang disebut ‘orang berwajah menyenangkan’ yang saya interpretasikan sebagai ‘malaikat’.
Persamaan kedua, kedua tokoh tersebut sama-sama tidak mempercayai adanya Tuhan atau keadilan. Mungkin dikarenakan masa lalu yang mereka miliki sama-sama suram dan mereka tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhan dikarenakan masa lalu. Di The Shack, si pemeran utama trauma karena memiliki ayah yang ‘agamis’ tetapi dalam kenyataannya dia suka minum dan main tangan terhadap istri dan anaknya. Hal inilah yang akhirnya memicu kemarahan si tokoh terhadap agama dan Tuhan. Di RTW, trauma itu muncul dalam sesosok penjaga panti yang agamis juga tapi pada kenyataannya sangat kejam terhadap istri dan anak-anak panti yang diasuhnya. Hal ini membuat trauma si tokoh utama sehingga dia tidak percaya akan agam dan Tuhan. Akan tetapi, kemarahan tersebut terbayar ketika si tokoh utama dalam The Shack bertemu ayahnya dalam ‘perjalanan ghaib’nya dan memaafkannya. Begitupun si tokoh dalam RTW, dengan mengetahui hal yang dilakukan oleh si penjaga panti untuknya, yaitu mengorbankan uang untuk naik hajinya demi membayar pengobatan si tokoh utama (yang baru dia ketahui  ketika melakukan ‘perjalanan ghaib’), si tokoh utama mengikhlaskan apa yang terjadi dalam kehidupannya.
Satu lagi yang menurut saya menarik untuk dibahas, adalah kedua tokoh tersebut sama-sama mempunyai tempat traumatis, dan untuk menyembuhkan trauma mereka, semua harus berawal dari yang paling menyakitkan. Bagi si tokoh dalam The Shack, tempat traumatis tersebut adalah sebuah gubuk dimana mayat putrid kesayangannya ditemukan. Dan bagi tokoh dalam RTW, tempat traumatis tersebut hadir dalam wujud panti asuhan dimana dia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan.
Menurut saya, itulah hal-hal yang menarik untuk dibahas dari kedua novel tersebut. Saya jatuh cinta kepada keduanya karena keduanya membuka sebuah pemikiran baru, a new way of thinking for me. Sangat menakjubkan! Saya percaya bahwa di dunia ini, ada keadilan  juka kita melihat dari sudut pandang yang berbeda. Dan saya menjadi lebih percaya akan takdir. Karena ketika saya melihat ke belakang, me-review jalan yang sudah saya tempuh, saya melihat link-link atau scenario yang sudah saya tempuh selama ini. Saya sangat bahagia atas kepercayaan saya terhdap takdir, karena tidak semua orang percaya terhadap takdir. Saya tidak menyalahkan mereka karena mempunyai pemikiran yang berbeda dengan saya. Setiap orang punya pengalaman yang berbeda yang membuat mereka menjadi seperti sekarang. Dan bagi saya, pengalaman saya lah yang membuat saya percaya akan takdir. Karena takdir telah membimbing saya sampai sekarang ini melalui kejadian-kejadian yang saya alami sepanjang hidup ini. Saya bahagia akan keyakinan ini, dan saya tidak butuh orang lain untuk setuju dengan pendapat saya ini. Keyakinan adalah private affair.
REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU
            Cukup cerita tentang kedua novel tersebut, sekarang saya ingin membahas tentang novel ini secara lebih dekat. Saya menyukai ide dan gaya bercerita sang penulis. Saya menyukai bagaimana beliau menyambungkan setiap kejadian yang terjadi. Saya sangat menyukai kejutan, dan novel ini menjawab keinginan saya. Secara keseluruhan, novel ini sangat bagus, dipandang dari bagaimana penulis mengaduk-aduk perasaan pembaca. Tapi ada satu hal yang disayangkan, sangat disayangkan, menurut saya (karena pada saat pembaca sampai pada bagian itu, khususnya saya, merasa kecewa). Hal itu dikarenakan ketika sang penulis menceritakan bagaimana si tokoh utama bertemu dengan si Gigi kelinci. Itu sangat mirip dengan salah satu film India yang saya sukai. Walaupun namanya tere-liye, tapi itu bukan alasan untuk ke India-indianan gitu loh.. kejadian tersebut sangat mengganggu kenikmatan membaca. Bagaimana si tokoh wanita membelikan balon untuk anak-anak dirumah sakit, bagaimana si tokoh laki-laki melukai tangannya dan perempuan membalutnya dengan perban, dan bagaimana si laki-laki melukai tangan yang satunya dan juga kata-kata yang diucapkan oleh si wanita. Semuanya sama. Alangkah baiknya kalau sang penulis membuat cara lain untuk mempertemukan mereka. Saya percaya bahwa sang penulis adalah seseorang yang kreatif dan tidak ingin karyanya dianggap ecek-ecek atau pasaran.
KALIMAT FAVORIT DI REMBUAN TENGGELAM DIWAJAHMU
·         “Tidak ada cara buruk untuk berbuat baik”. –Rembulan Tenggelam di Wajahmu, oleh Tere-Liye
·         “Kita bisa menukar banyak hal menyakitkan yang dilakukan orang lain dengan sesuatu yang lebih hakiki, lebih abadi. Rasa sakit yang timbul karena perbuatan aniaya dan menyakitkan dari orang lain itu sementara. Pemahaman dan penerimaan tulus dari kejadian menyakitkan itulah yang abadi”. –Rembulan Tenggelam di Wajahmu, oleh Tere-Liye
·         “Kau tidak seharusnya menyalahkan orang-orang atas nasib burukmu. Meskipun itu lazim dilakukan orang-orang banyak”. –Rembulan Tenggelam di Wajahmu, oleh Tere-Liye
·         “Ray, kehidupan ini selalu adil. Keadilan langit mengambil berbagai bentuk. Meski tidak semua bentuk itu kita kenali, tapi apakah dengan tidak mengenalinya kita bisa berani-beraninya bilang Tuhan tidak adil?” –Rembulan Tenggelam di Wajahmu, oleh Tere-Liye
·         “Kita selalu berprasangka buruk. Kita membiarkan hati yang mengambil alih, menduga-duga … tidak puas menduga-duga, kita membiarkan hati mulai menyalahkan. Mengutuk semuanya. Kemudian tega sekali, menjadikan kesalahan orang lain sebagai pembenaran atas tingkah laku keliru kita.” –Rembulan Tenggelam di Wajahmu, oleh Tere-Liye
·         “Tahukah kau, orang-orang yang suka menyalahkan orang lain atas kejadian buruk yang menimpanya cenderung sepertimu. Membalas. Ketika kau tidak mampu membalasnya ke orang yang menjadi penyebabnya, tidak bisa membalasnya ke Tuhan, meka kau membalasnya dalam bentuk lain. Apa salahnya menjadi jahat. Menjadi pembenaran.” –Rembulan Tenggelam di Wajahmu, oleh Tere-Liye
·         “Kau tahu, hampir semua orang pernah kehilangan sesuatu yang berharga miliknya, amat berharga malah. Dalam ukuran tertentu, kehilangan yang kau alami mungkin jauh lebih menyakitkan. Tapi kita tidak sedang membicarakan ukuran relative lebih atau kurang. Semua kehilangan itu menyakitkan.” –Rembulan Tenggelam di Wajahmu, oleh Tere-Liye
·         ”Tentang berbagai bagian yang tidak terjelaskan, semoga langit berbaik hati memberitahu. Kalaupun tidak, begitulah kehidupan. Ada yang kita tahu. Ada pula yang tidak kita tahu. Yakinlah, dengan ketidaktahuan itu bukan berarti Tuhan berbuat jahat kepada kita. Mungkin saja Tuhan sengaja melindungi kita dari tahu itu sendiri”. –Rembulan Tenggelam di Wajahmu, oleh Tere-Liye

Kamis, 07 Februari 2013

My Favorite Quotes in The Shack, by William P. Young




·         “Aku sering mendapati bahwa menyingkirkan masalah di kepala terlebih dahulu membuat isi hati lebih mudah untuk ditangani kemudian … ketika engkau sudah siap”.  –The Shack, by William P. Young
·         “Cinta selalu meninggalkan bekas yang nyata”. –The Shack, by William P. Young
·         “Mari berdoa supaya umat manusia tidak pernah meninggalkan bumi untuk menyebarkan kejahatannya di tempat lain” –C. S. Lewis in The Shack, by William P. Young
·         “Hubungan selamanya bukan tentang kekuasaan. Dan satu cara untuk menghindari kehendak menguasai adalah dengan memilih untuk menguasai diri sendiri –untuk melayani”. –The Shack, by William P. Young
·         “Manusia selalu mementingkan penampilan –yang hanya memberi kesan semu. Sekali engkau mulai mengenal manusia di balik wajah yang sangat buruk atau sangat rupawan, menurut ukuranmu yang biasa, penampilan luar memudar hingga akhirnya semata-mata tidak penting lagi”. –The Shack, by William P. Young
·         “Tumbuh berarti berubah dan berubah melibatkan risiko, melangkah dari yang diketahui menuju yang tidak diketahui”. –The Shack, by William P. Young
·         “Kebohongan adalah salah satu tempat termudah yang bisa dituju oleh orang yang hendak bertahan. Itu memberimu perasaan aman, tempat engkau Cuma harus bergantung pada dirimu sendiri. Tetapi itu tempat yang gelap, bukan?” –The Shack, by William P. Young
·         “Engkau dapat memberikan kacupan perpisahan kepada keluarga dan sahabat-sahabatmu dan meletakkan jarak bermil-mil diantara kalian. Namun pada saat yang sama, engkau membawa mereka bersamamu dalam hatimu, pikiranmu, perutmu, karena engkau tidak hanya hidup di dunia, tetapi dunia hidup di dalam engkau”. –Frederick Buechner, Telling the Truth, in The Shack by William P. Young
·         “Mengampuni bukan berarti melupakan. Itu berarti merelakan dendammu kepada orang lain”. –The Shack, by William P. Young
·         “Amarah adalah respons yang tepat terhadap sesuatu yang sangat salah. Tetapi, jangan biarkan amarah dan kepedihan serta kehilanganmu mencegahmu mengampuni dia dan merelakan dendammu”. –The Shack, by William P. Young
·         “Jika ada sesuatu yang berarti, segalanya berarti”. –The Shack, by William P. Young

Sabtu, 02 Februari 2013

A Thousand Splendid Suns, by Khaled Hosseini REVIEW




Ini adalah novel kedua karya Hosseini yang pernah aku baca. Sebelumnya, aku udah baca ‘The Kite Runner’ yang memang luar biasa sekali bagi saya. Sayangnya, novel yang The Kite Runner belum aku masukkan di blog ini karena pada waktu itu aku belum punya blog. Dan setelah aku punya blog, aku belum punya keberanian untuk membacanya lagi. Soalnya terlalu sedih ceritanya..
            Nah, kembali lagi pada novel ini. Alasan saya memilih untuk membacanya ya lebih kurang karena my previous experience itu. Khaled Hosseini memang penulis yang begitu luar biasa.
            Cerita ni masih dengan latar belakang yang sama, yaitu Afghanistan dan peperangan yang dialami oleh bangsa Afghan yang membuat mereka kehilangan (hampir) seluruh apa yang mereka miliki. Mengisahkan tentang Mariam, seorang harami (anak di luar nikah) dari Jalil dan Nana, yang hars tinggal di kolba, di pelosok desa. Suatu hari, karena keinginannya untuk diakui dan diperlakukan sama dengan anak-anak Jalil yang lain, nekat berjalan kaki dari rumahnya sampai ke Heart, ke rumah Jalil dan ketiga istrinya. Karena adat disana ‘tidak menganggap’ harami, maka dia tidak diperbolehkan masuk ke rumah Jalil dan harus tidur di luar pagar. Ketika dia pulang ke kolba, ibbunya ternyata sudah menggantung dirinya. Itulah awal cerita dari novel ini yang nantinya akan mengantarkannya untuk menikah dengan pria yang usianya jauh diatasnya dan dia harus bergelut degan konflik runah tangga yang menurut saya sulit untuk dihadapi.
            Gaya Hosseini bercerita memang khas. Sangat mengoyak perasaan dan membuat siapapun yang membacanya turut merasakan kepedihan atas apa yang menimpanya. Saya sangat menyukai karya beliau karena bagi saya, apa yang dia ceritakan memang sangat nyata, sangat real, dan gaya berceritanya sangat menarik. Aku akan selalu menunggu karya beliau yang selanjutnya.
            Yang ingin saya bahas dalam review ini adalah woman issues yang dibawa oleh Khaled Hosseini.

·         Derajat seorang harami
“Dasar harami kecil ceroboh. Inilah ganjaran yang kudapatkan setelah hidup sengsara” (page 16).

“Dia baru mengerti apa maksud Nana, bahwa harami adalah anak yang tidak diinginkan; bahwa dia, Mariam, adalah anak haram yang tidak akan pernah mendapatkan hak seperti yang didapatkan orang lain. Tidak akan mendapatkan cinta, keluarga, rumah tangga, dan penerimaan”

“Dia dibesarkan di sebuah kolba berdinding lumpur di luar kampung. Ayahnya sengaja menempatkan dia disana. Apa kau pernah membertahunya, Mariam, bahwa kau seorang harami? Yah, itu memang benar”.

Ini isu yang menarik sekaligus memprihatinkan bagi saya. Pertama, apabila dua orang melakukan hubungan diluar nikah, mengapa yang menjadi cercaan adalah si perempuan, sedangkan si lelaki masih bebas kesana kemari, tinggal di rumah mewah bersama ketiga istrinya sedangkan si perempuan dan anaknya harus tinggal di kolba, diasingkan dan dianggap dia dan anak yang dikandungnya sangat memalukan dan akan lebih baik jika keduanya dilenyapkan; seperti rumput liar, jika saya boleh mengutip perkataan Khaled Hosseini. Kedua, saya sangat prihatin dengan si anak tersebut, yang dalam cerita ini adalah Mariam, karena dianggap sebagai seorang harami, seolah-olah dia mendapat kutukan. Tertutuplah segala jalan kebahagiaan baginya: keluarga, cinta, masa depan. Saya pikir, semua anak yang ada di dunia ini memiliki hak yang sama akan cinta dan penerimaan. Sangatlah tidak adil jika dia harus dikucilkan hanya karena dia seorang harami, bahkan ibunya pun membencinya. Bagi saya itu sangatlah tidak masuk akal. Anak tersebut tidak bersalah, dan jika memang ada yang harus disalahkan, bukankah dua orang yang menyebabkan anak itu ada?

·         Bagamana dunia memandang seorang wanita
“Seperti jarum kompas yang selalu manunjuk ke utara, jari telunjuk seorang pria selalu teracung untuk menuduh wanita. Selalu. Ingatlah itu, Mariam”.

Apakah saya feminist jika saya membahas hal itu? Mungkin. Saya hanya ingin memberitahu bahwa sudah terlalu banyak wanita yang menjadi korban dan saya tidak ingin hal itu terjadi lagi, dalam generasi saya, maupun generasi yang selanjutnya. Di novel ini juga diceritakan tentang KDRT seorang suami terhadap istrinya dan saya pikir hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Di dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa seorang suami boleh memukul istrinya HANYA JIKA dia memang bersalah jika dipandang dari sudut agama, bukan sudut pandang pribadi suami. Dan memukulnya juga tidak seperti adegan laga di film-film action. Wanita bukan objek pelampiasan amarah. Isu-isu seperti ini memang hidup dalam masyarakat kita, dan hal itulah yang ingin saya tekankan lewat penjelasan saya tadi. Kita harus berani melawan ketidak-adilan, terlebih yang dialami seorang wanita.

IDEAS YANG SAYA SUKAI DARI NOVEL INI:
·         “Ayat-ayat Al-Qur’an juga akan membuatmu tenang, Mariam jo,” katanya “kau bisa melafalkannya kapan pun kau mau, dan kata-kata Tuhan tidak akan mengkhianatimu, Anakku” (page 31).
Ini adalah kalimat yang diucapkan oleh Mullah Faizullah (seorang guru mengaji) kepada Mariam. Saya sangat menyukainya, karena hal itu memang benar.

·         “Aku tahu bahwa kau masih muda, tapi aku ingin kau memahami dan mempelajari hal ini sekarang, katanya. Pernikahan dapat menunggu, tapi pendidikan tidak. Kau gadis yang sangat pintar. Ini bukan omong kosong. Kau bisa menjadi apapun yang kau inginkan, Laila. Aku tahu itu. Dan, aku juga tah bahwa setelah perang ini usai, Afghanistan akan membutuhkanmu, sama seperti ia membutuhkan para pria, bahkan mungkin wanita akan lebih dicari. Karena masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk maju jika para wanitanya tidak berpendidikan, Laila. Tidak ada kesempatan” (page 145-146).
Aku setuju dengan pendapat ayah Laila ini. Karena memang, di Afghanistan, setiap perempuan yang sudah baligh memang langsung dinikahkan, dan tidak tertutup kemungkinan, calon suaminya berusia dua atau tiga kali lipat dengan usia gadis tersebut, dan mungkin juga bukan istri satu-satunya. Dalam novel ini sepertinya disana sangat wajar, dan menurut saya tidak ada masalah, karena bagaimanapun agama memperbolehkan. Tapi for my own preference, saya lebih mengutamakan pendidikan, karena itu pride bagi saya, my confidence, sesuatu yang menunjukkan my existence.
Saya setuju dengan kalimat ‘pernikahan bisa menunggu, tapi pendidikan tidak’ dan memang benar, karena sekali kita menikah, pendidikan hanya menyita beberapa persen dari kehidupan kita.