Ini
adalah novel kedua karya Hosseini yang pernah aku baca. Sebelumnya, aku udah
baca ‘The Kite Runner’ yang memang luar biasa sekali bagi saya. Sayangnya,
novel yang The Kite Runner belum aku masukkan di blog ini karena pada waktu itu
aku belum punya blog. Dan setelah aku punya blog, aku belum punya keberanian
untuk membacanya lagi. Soalnya terlalu sedih ceritanya..
Nah, kembali lagi pada novel ini.
Alasan saya memilih untuk membacanya ya lebih kurang karena my previous
experience itu. Khaled Hosseini memang penulis yang begitu luar biasa.
Cerita ni masih dengan latar
belakang yang sama, yaitu Afghanistan dan peperangan yang dialami oleh bangsa
Afghan yang membuat mereka kehilangan (hampir) seluruh apa yang mereka miliki.
Mengisahkan tentang Mariam, seorang harami (anak di luar nikah) dari Jalil dan
Nana, yang hars tinggal di kolba, di pelosok desa. Suatu hari, karena
keinginannya untuk diakui dan diperlakukan sama dengan anak-anak Jalil yang
lain, nekat berjalan kaki dari rumahnya sampai ke Heart, ke rumah Jalil dan
ketiga istrinya. Karena adat disana ‘tidak menganggap’ harami, maka dia tidak
diperbolehkan masuk ke rumah Jalil dan harus tidur di luar pagar. Ketika dia
pulang ke kolba, ibbunya ternyata sudah menggantung dirinya. Itulah awal cerita
dari novel ini yang nantinya akan mengantarkannya untuk menikah dengan pria
yang usianya jauh diatasnya dan dia harus bergelut degan konflik runah tangga
yang menurut saya sulit untuk dihadapi.
Gaya Hosseini bercerita memang khas.
Sangat mengoyak perasaan dan membuat siapapun yang membacanya turut merasakan
kepedihan atas apa yang menimpanya. Saya sangat menyukai karya beliau karena
bagi saya, apa yang dia ceritakan memang sangat nyata, sangat real, dan gaya
berceritanya sangat menarik. Aku akan selalu menunggu karya beliau yang
selanjutnya.
Yang ingin saya bahas dalam review
ini adalah woman issues yang dibawa oleh Khaled Hosseini.
·
Derajat seorang harami
“Dasar
harami kecil ceroboh. Inilah ganjaran yang kudapatkan setelah hidup sengsara”
(page 16).
“Dia
baru mengerti apa maksud Nana, bahwa harami adalah anak yang tidak diinginkan;
bahwa dia, Mariam, adalah anak haram yang tidak akan pernah mendapatkan hak
seperti yang didapatkan orang lain. Tidak akan mendapatkan cinta, keluarga,
rumah tangga, dan penerimaan”
“Dia
dibesarkan di sebuah kolba berdinding lumpur di luar kampung. Ayahnya sengaja menempatkan dia disana. Apa kau
pernah membertahunya, Mariam, bahwa kau seorang harami? Yah, itu memang benar”.
Ini
isu yang menarik sekaligus memprihatinkan bagi saya. Pertama, apabila dua orang
melakukan hubungan diluar nikah, mengapa yang menjadi cercaan adalah si
perempuan, sedangkan si lelaki masih bebas kesana kemari, tinggal di rumah
mewah bersama ketiga istrinya sedangkan si perempuan dan anaknya harus tinggal
di kolba, diasingkan dan dianggap dia dan anak yang dikandungnya sangat
memalukan dan akan lebih baik jika keduanya dilenyapkan; seperti rumput liar,
jika saya boleh mengutip perkataan Khaled Hosseini. Kedua, saya sangat prihatin
dengan si anak tersebut, yang dalam cerita ini adalah Mariam, karena dianggap
sebagai seorang harami, seolah-olah dia mendapat kutukan. Tertutuplah segala
jalan kebahagiaan baginya: keluarga, cinta, masa depan. Saya pikir, semua anak
yang ada di dunia ini memiliki hak yang sama akan cinta dan penerimaan.
Sangatlah tidak adil jika dia harus dikucilkan hanya karena dia seorang harami,
bahkan ibunya pun membencinya. Bagi saya itu sangatlah tidak masuk akal. Anak
tersebut tidak bersalah, dan jika memang ada yang harus disalahkan, bukankah
dua orang yang menyebabkan anak itu ada?
·
Bagamana dunia memandang seorang wanita
“Seperti
jarum kompas yang selalu manunjuk ke utara, jari telunjuk seorang pria selalu
teracung untuk menuduh wanita. Selalu. Ingatlah itu, Mariam”.
Apakah
saya feminist jika saya membahas hal itu? Mungkin. Saya hanya ingin memberitahu
bahwa sudah terlalu banyak wanita yang menjadi korban dan saya tidak ingin hal
itu terjadi lagi, dalam generasi saya, maupun generasi yang selanjutnya. Di
novel ini juga diceritakan tentang KDRT seorang suami terhadap istrinya dan
saya pikir hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Di dalam Al-Qur’an juga
dinyatakan bahwa seorang suami boleh memukul istrinya HANYA JIKA dia memang
bersalah jika dipandang dari sudut agama, bukan sudut pandang pribadi suami.
Dan memukulnya juga tidak seperti adegan laga di film-film action. Wanita bukan
objek pelampiasan amarah. Isu-isu seperti ini memang hidup dalam masyarakat
kita, dan hal itulah yang ingin saya tekankan lewat penjelasan saya tadi. Kita
harus berani melawan ketidak-adilan, terlebih yang dialami seorang wanita.
IDEAS YANG
SAYA SUKAI DARI NOVEL INI:
·
“Ayat-ayat Al-Qur’an juga akan membuatmu
tenang, Mariam jo,” katanya “kau bisa melafalkannya kapan pun kau mau, dan
kata-kata Tuhan tidak akan mengkhianatimu, Anakku” (page 31).
Ini
adalah kalimat yang diucapkan oleh Mullah Faizullah (seorang guru mengaji)
kepada Mariam. Saya sangat menyukainya, karena hal itu memang benar.
·
“Aku tahu bahwa kau masih muda, tapi aku
ingin kau memahami dan mempelajari hal ini sekarang, katanya. Pernikahan dapat
menunggu, tapi pendidikan tidak. Kau gadis yang sangat pintar. Ini bukan omong
kosong. Kau bisa menjadi apapun yang kau inginkan, Laila. Aku tahu itu. Dan,
aku juga tah bahwa setelah perang ini usai, Afghanistan akan membutuhkanmu,
sama seperti ia membutuhkan para pria, bahkan mungkin wanita akan lebih dicari.
Karena masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk maju jika para wanitanya
tidak berpendidikan, Laila. Tidak ada kesempatan” (page 145-146).
Aku
setuju dengan pendapat ayah Laila ini. Karena memang, di Afghanistan, setiap
perempuan yang sudah baligh memang langsung dinikahkan, dan tidak tertutup
kemungkinan, calon suaminya berusia dua atau tiga kali lipat dengan usia gadis
tersebut, dan mungkin juga bukan istri satu-satunya. Dalam novel ini sepertinya
disana sangat wajar, dan menurut saya tidak ada masalah, karena bagaimanapun
agama memperbolehkan. Tapi for my own preference, saya lebih mengutamakan
pendidikan, karena itu pride bagi saya, my confidence, sesuatu yang menunjukkan
my existence.
Saya
setuju dengan kalimat ‘pernikahan bisa menunggu, tapi pendidikan tidak’ dan
memang benar, karena sekali kita menikah, pendidikan hanya menyita beberapa
persen dari kehidupan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar