The Wind Sharing

The Wind Sharing
Good time

Sabtu, 02 Februari 2013

A Thousand Splendid Suns, by Khaled Hosseini REVIEW




Ini adalah novel kedua karya Hosseini yang pernah aku baca. Sebelumnya, aku udah baca ‘The Kite Runner’ yang memang luar biasa sekali bagi saya. Sayangnya, novel yang The Kite Runner belum aku masukkan di blog ini karena pada waktu itu aku belum punya blog. Dan setelah aku punya blog, aku belum punya keberanian untuk membacanya lagi. Soalnya terlalu sedih ceritanya..
            Nah, kembali lagi pada novel ini. Alasan saya memilih untuk membacanya ya lebih kurang karena my previous experience itu. Khaled Hosseini memang penulis yang begitu luar biasa.
            Cerita ni masih dengan latar belakang yang sama, yaitu Afghanistan dan peperangan yang dialami oleh bangsa Afghan yang membuat mereka kehilangan (hampir) seluruh apa yang mereka miliki. Mengisahkan tentang Mariam, seorang harami (anak di luar nikah) dari Jalil dan Nana, yang hars tinggal di kolba, di pelosok desa. Suatu hari, karena keinginannya untuk diakui dan diperlakukan sama dengan anak-anak Jalil yang lain, nekat berjalan kaki dari rumahnya sampai ke Heart, ke rumah Jalil dan ketiga istrinya. Karena adat disana ‘tidak menganggap’ harami, maka dia tidak diperbolehkan masuk ke rumah Jalil dan harus tidur di luar pagar. Ketika dia pulang ke kolba, ibbunya ternyata sudah menggantung dirinya. Itulah awal cerita dari novel ini yang nantinya akan mengantarkannya untuk menikah dengan pria yang usianya jauh diatasnya dan dia harus bergelut degan konflik runah tangga yang menurut saya sulit untuk dihadapi.
            Gaya Hosseini bercerita memang khas. Sangat mengoyak perasaan dan membuat siapapun yang membacanya turut merasakan kepedihan atas apa yang menimpanya. Saya sangat menyukai karya beliau karena bagi saya, apa yang dia ceritakan memang sangat nyata, sangat real, dan gaya berceritanya sangat menarik. Aku akan selalu menunggu karya beliau yang selanjutnya.
            Yang ingin saya bahas dalam review ini adalah woman issues yang dibawa oleh Khaled Hosseini.

·         Derajat seorang harami
“Dasar harami kecil ceroboh. Inilah ganjaran yang kudapatkan setelah hidup sengsara” (page 16).

“Dia baru mengerti apa maksud Nana, bahwa harami adalah anak yang tidak diinginkan; bahwa dia, Mariam, adalah anak haram yang tidak akan pernah mendapatkan hak seperti yang didapatkan orang lain. Tidak akan mendapatkan cinta, keluarga, rumah tangga, dan penerimaan”

“Dia dibesarkan di sebuah kolba berdinding lumpur di luar kampung. Ayahnya sengaja menempatkan dia disana. Apa kau pernah membertahunya, Mariam, bahwa kau seorang harami? Yah, itu memang benar”.

Ini isu yang menarik sekaligus memprihatinkan bagi saya. Pertama, apabila dua orang melakukan hubungan diluar nikah, mengapa yang menjadi cercaan adalah si perempuan, sedangkan si lelaki masih bebas kesana kemari, tinggal di rumah mewah bersama ketiga istrinya sedangkan si perempuan dan anaknya harus tinggal di kolba, diasingkan dan dianggap dia dan anak yang dikandungnya sangat memalukan dan akan lebih baik jika keduanya dilenyapkan; seperti rumput liar, jika saya boleh mengutip perkataan Khaled Hosseini. Kedua, saya sangat prihatin dengan si anak tersebut, yang dalam cerita ini adalah Mariam, karena dianggap sebagai seorang harami, seolah-olah dia mendapat kutukan. Tertutuplah segala jalan kebahagiaan baginya: keluarga, cinta, masa depan. Saya pikir, semua anak yang ada di dunia ini memiliki hak yang sama akan cinta dan penerimaan. Sangatlah tidak adil jika dia harus dikucilkan hanya karena dia seorang harami, bahkan ibunya pun membencinya. Bagi saya itu sangatlah tidak masuk akal. Anak tersebut tidak bersalah, dan jika memang ada yang harus disalahkan, bukankah dua orang yang menyebabkan anak itu ada?

·         Bagamana dunia memandang seorang wanita
“Seperti jarum kompas yang selalu manunjuk ke utara, jari telunjuk seorang pria selalu teracung untuk menuduh wanita. Selalu. Ingatlah itu, Mariam”.

Apakah saya feminist jika saya membahas hal itu? Mungkin. Saya hanya ingin memberitahu bahwa sudah terlalu banyak wanita yang menjadi korban dan saya tidak ingin hal itu terjadi lagi, dalam generasi saya, maupun generasi yang selanjutnya. Di novel ini juga diceritakan tentang KDRT seorang suami terhadap istrinya dan saya pikir hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Di dalam Al-Qur’an juga dinyatakan bahwa seorang suami boleh memukul istrinya HANYA JIKA dia memang bersalah jika dipandang dari sudut agama, bukan sudut pandang pribadi suami. Dan memukulnya juga tidak seperti adegan laga di film-film action. Wanita bukan objek pelampiasan amarah. Isu-isu seperti ini memang hidup dalam masyarakat kita, dan hal itulah yang ingin saya tekankan lewat penjelasan saya tadi. Kita harus berani melawan ketidak-adilan, terlebih yang dialami seorang wanita.

IDEAS YANG SAYA SUKAI DARI NOVEL INI:
·         “Ayat-ayat Al-Qur’an juga akan membuatmu tenang, Mariam jo,” katanya “kau bisa melafalkannya kapan pun kau mau, dan kata-kata Tuhan tidak akan mengkhianatimu, Anakku” (page 31).
Ini adalah kalimat yang diucapkan oleh Mullah Faizullah (seorang guru mengaji) kepada Mariam. Saya sangat menyukainya, karena hal itu memang benar.

·         “Aku tahu bahwa kau masih muda, tapi aku ingin kau memahami dan mempelajari hal ini sekarang, katanya. Pernikahan dapat menunggu, tapi pendidikan tidak. Kau gadis yang sangat pintar. Ini bukan omong kosong. Kau bisa menjadi apapun yang kau inginkan, Laila. Aku tahu itu. Dan, aku juga tah bahwa setelah perang ini usai, Afghanistan akan membutuhkanmu, sama seperti ia membutuhkan para pria, bahkan mungkin wanita akan lebih dicari. Karena masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk maju jika para wanitanya tidak berpendidikan, Laila. Tidak ada kesempatan” (page 145-146).
Aku setuju dengan pendapat ayah Laila ini. Karena memang, di Afghanistan, setiap perempuan yang sudah baligh memang langsung dinikahkan, dan tidak tertutup kemungkinan, calon suaminya berusia dua atau tiga kali lipat dengan usia gadis tersebut, dan mungkin juga bukan istri satu-satunya. Dalam novel ini sepertinya disana sangat wajar, dan menurut saya tidak ada masalah, karena bagaimanapun agama memperbolehkan. Tapi for my own preference, saya lebih mengutamakan pendidikan, karena itu pride bagi saya, my confidence, sesuatu yang menunjukkan my existence.
Saya setuju dengan kalimat ‘pernikahan bisa menunggu, tapi pendidikan tidak’ dan memang benar, karena sekali kita menikah, pendidikan hanya menyita beberapa persen dari kehidupan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar